Senin, 24 Juli 2017

Waingapu, Hotel Cendana....
Workshop implementasi standard Proses dan standard Penilaian jenjang SMP/MTs tingkat Kabupaten Sumba Timur 2017 diikuti sejumlah kepala sekolah dan wakil kepala sekolah sebagai guru senior dari masing-masing satuan pendidikan. Dengan penuh harap akan memperoleh kompetensi khusus berhubung dengan kurikulum yang baru K 13 sementara masih banyak yang belum memahami lebih khusus pada pelaksanaan proses dan juga pada standar penilaian....nara sumber berorasasi sedemikian rupa namun tiada hal memadai yang dapat dikuasai para peserta, sehingga masing2 peserta banyak  menyelesaikan kerjanya cara masing2 dengan bermain gadget....sambil tersenyum sendiri dan mulai colek rekannya di samping....dengan maen gila sama teman di samping saya  coba mengambil image yang hasilnya adalah sepereti foto ini ni....si Paulus dari daerah pedalaman La Au

Rabu, 31 Agustus 2016

Waingapu.pph
“lima belas menit lagi pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan GT 502 akan mendarat di bandara Internasional Soekarno-Hatta”, demikian informasi awak kabin pesawat, tak lama berselang benar pesawat landing kamipun diminta menuruni tangga  pesawat menuju pintu keluar. Menunggu bagasi akupun sempat bercengkrama dengan pa Jemi kepala SMP SATAP LANGIRA , rekan seperjalanan dari Sumba.
“kamu inap dimana”tanyaku.
“langsung Mangga Dua” ungkapnya sambil mengemas bagasi.
“kalo begitu ya sama-sama sajalah”.
Segera kami menuju pangkalan taxi lalu terjadi kesepakatan 250.000 harga  penawaran tujuan Mangga Dua.
Dalam perjalanan tak lepas mata memandang sejumlah bangunan tinggi menjulang sedang di negeri kami Sumba Timur adalah barang yang jarang terlihat, kamipun menikmati perjalanan sambil sesekali pak supir bertanya karena mendengar celotehan kami.
“Bapak dari Timur ya....”
“Iya pa, dari Sumba-NTT,” menjawab seolah kesan perkunjungan yang sudah biasa ke Jakarta. Sesungguhnya ini baru lagi setelah sekian lama sejak pertama datang pada  September 1993, masih kuliah dulu sebagai delegasi  NTT di istana wakil Presiden, yang saat itu oleh bapak Tri Sutrisno membuka kegiatan Musyawarah Besar ke  V Gerakan Mahasiswa Kosgoro dan  kemudian bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke  Palembang.  Namun kini Ibu Kota Negara telah jauh berubah.
Kurang lebih 40 menit kemudian, kamipun tiba sebab hari sudah menjelang malam dan jalanan yang sering macet  terpantau lancar  oleh pa supir yang kemudian kami paham pa supirnya menggunakan grab-suatu applikasi yang sudah tak jarang digunakan nitizen memantau arus kendaraan di kisaran Jakarta.
“Terima kasih pa”, ungkapan kami usai pa supir menurunkan bagasi dan membayar taxi .
Di lobby Hotel Panitia sibuk melayani pendaftaran peserta yang datang dari seluruh penjuru tanah air, ada dari Aceh Pidie, dari kalimantan Utara, dari Papua dan kami pun mendaftar pada panitia penanggung jawab  asal  NTT.
“Sebentar bapak-bapak dan ibu-ibu, kita akan pindah hotel karena kamar di Hotel ini sudah penuh,” ungkapan Panitia. Ada yang bertanya mengapa harus kita pindah, termasuk aku, sebab jarak penginapan dari tempat penyelenggaraan kegiatan berkisar 500 meter....namum panitia menjawab, ” ada kendaraan yang akan menjeput bapak ibu setiap saat dari tempat bapak ibu akan menginap”.
“Pembukaan oleh bapak Dirjen akan segera dilakukan, dimohon para peserta kegiatan segera menuju lantai 27 atrium 2...” demikian informasi  Panitia. Dengan terpaksa meninggalkan barang2, kamipun menuju tempat kegiatan yang mana peserta dari daerah lain sudah menanti dan acara pembukaan sudah sedang dimulai. Kejadian serupa di Hotel Maharaja-Jakarta Selatan, saat mengikuti kegiatan  Bimtek Penilaian angka Kredit Guru dalam Jabatan beberapa saat yang lalu.
“ingat bantah ini digunakan dengan penuh tanggung jawab  dan jangan lupa membayar pajak sebab dari pajak yang bapak ibu kembalikan ke kas negara itulah yang akan membiayai kegiatan yang ada di negeri Ini” demikian pesan pa Dirjen.

Usai Pembukaan kembali pada panitia untuk penyelesaian administrasi – pelaporan dan untuk mendapatkan kamar di hotel sebelah. Keesokan hari kegiatan sesungguhnya baru dimulai.

Senin, 11 April 2016

Waingapu,Pph.  Untung dan rugi menjadi sejenis prasyarat dalam  menjalani hidup kekinian. Era kompetisi penuh persaingan hanya untuk dapat bertahan hidup. Terserah.... hari ini, saya belajar dan merasa  bersyukur dapat mengalami beberapa peristiwa yang ingin disampaikan sekadar mengiktiar  hidup  bernilai  bagi diri dalam  relasi. Berlangsung sejak meningggalkan peraduan menuju sekolah, mengais kehidupan hingga 103 km kembali,  menghabiskan tak kurang 15 jam perjalanan.

Sebelum Ke sekolah

Indri, seorang anak piara dalam rumah, bangun sedikit lebih kepagian. Disebut anak piara
karena sejak kecil ditinggalkan ibunya dan dipelihara sebagai anak kandung, juga oleh karena ayah berniat tidak bertanggung jawab, lalu pergi meninggalkannya. Kini berusia 10 tahun harus  bangun mengambil kayu bakar untuk mendidihkan air, menanak nasi sebagai persiapan buat keluarga sebelum berangkat sekolah. Kerap batuk  ketika akan meniup api dalam tungku dan ketika ditanya makan apa sore kemarin, ternyata didapati sisa-sisa makanannya berupa buah jambu mete yang belum benar-benar matang dan sudah sering terjadi jika sedang musim buah jambu mete dan makan buah yang belum matang akan mengakibatkan gatal di sekitar tenggorokan. Karena sering batuk, saya mengambil VCO/Virgin Coconut Oil, minyak kelapa hasil sulingan, memintanya akan minum barang 3 sendok makan.  Mungkin karena terdapat unsur santan ternyata batuknya berkurang. Merasa diperhatikan anak piara ini merasa senang.



Di sekolah
Tiba di sekolah, rekan-rekan guru melaporkan telah terkumpul dari komunitas sekolah dengan
tulus disampaikan keluarga duka. Sekali lagi “trimakasih aya ngguru”. Dan kami merasa terharu sebab apalah yang kami berikan.... seadanya dalam kerelaan. sejumlah sumbangan sukarela  yang akan dibawa sebentar jika bapak berkenan kita melayat ke rumah duka, ayah mertua dari seorang rekan guru. Usai kegiatan belajar mengajar,  bersama rekan guru dan anak-anak kamipun berangkat. “Terima kasih pak guru, terima kasih pak guru” berulang


Pulang Rumah
Singgah ngopi di rumah paman sedang bersuka, baru menyelesaikan pembangunan suatu proyek, sambil bercerita perihal tetangga sebelah yang anaknya diminta bantuan karena memiliki kemampuan dalam pertukangan meski akhirnya tidak mau ikut menerima borongan, sedang pagi tadi datang meminta bantuan beras karena ibunya sejak kemarin hanya makan seadanya berupa pisang bakar, Sesungguhnya saat ini sedang memasuki musim lapar dan kemarau berkepanjangan. Paman bercerita, “saat ini saya sedikit lega karena ponaan saya, Maju’u sudah mau tinggal di rumah dan membantu ibunya yang sudah tua dan menjanda, jika tidak, saya harus menopang 3  rumah tangga”. Sedang kepada ibu yang menjanda ini saya pernah menjanjikan atas harapannya berupa ubi kering oleh cerita ubi yang sering digunakan sebagai pakan ternak babi dalam jumlah yang banyak, namun sampai dengan saat ini belum terpenuhi. Saya terhenyak dan merenung oleh janji itu yang ketika tiba di rumah sambil bercerita pada anak-anak dan ibu, terasa karena tidak peka apalagi terhadap
seorang janda yang berharap tiada untung.
Sedang pagi ini kepada rekan guru honorer, ibu membagikan 3 unit cangkir baru  masing-masing sebagai surprise ulang tahun , cangkir  baru berisi white coofee hangat, melayani dengan siulan bernada “Selamat beruntung bisa menemui Hari Ulang Tahun”.............

Minggu, 01 November 2015

Senin, 07 September 2015

PPH___ September 5, 2015, I was trigered to tell the story of a self-profile. More stories refered to the history and why I prefer to stay in Prai Pulu Hamu, though  in my mind, wanted to build  my village in Melolo- Hadambiwa, the place where my parents and I were born.
Movement .............
I was born in Melolo, April 23, 1970 lived with my parents where my father worked as  Guru Injil at the Free Church of  Melolo. In charge of the Guru Injil, my father  moved depending on the synod's decision.
As I was  4 years (1974) that my parents had to move to follow the assigned father serving in the Free Church Patawang with the distance of 9 kilometers from Melolo to Patawang- where The history of the founding of the Free Church, Guru Welem Koreh been a pastor there. Our family moved gather  with my older brother, Kolo Bunga at his 5 years old and also  Pago Bunga was 1 year. Moved  to a different  place at the year of 1970s, my parents  had to carry us on their  back due to  moment of the vehicles in the form of trucks or other transports  equipments were still very difficult. Every Sunday my father had  to serve both the Church of Patawang and  Melolo on foot and should also serve bible discussion while the kids for Sunday school in two far distances places. Returned  home from Melolo, my father should transport his goods. Sometimes assisted by his younger brother, Ane Djara.
In May 1976, I must follow my father who moved redeployed back in Melolo Free Church of Patawang. Conceivably time of transfer, the goods must be transferred in addition to the kids. This was very difficult moment  but all were managed well  by my father although my mother can not help transport the goods together as recently gave birth to twins, the two of my brother, Rame Bunga and Jami Bunga. Unfortunately, Jami Bunga should die at the age of only a few months. My father  felt  so sad. But the real blessing, in his desire to have  daughter, in 1982 were born to him, our sole sister, Wue Bunga and again a boy in 1984, Amos Bunga.
Due to my age of 6 years old must be at school, my father put me in elementary school at SD Melolo 1 for several months, but by Ds. PP Goossens asked Djara Ane willingness to open a new school in Prai Puluhamu then in March 1977 established an elementary school in Prai Puluhamu and again my father escorted me gather with my brother, Kolo Bunga to Prai Puluhamu. Since then entered the school in Prai Puluhamu with colleagues such as Bunggul (now reverand at Prai Puluhamu, Rahik (who is his wife), Tehu, Yana, Mesak, Daniel and several others until grade 6.





From Melolo to Prai Puluhamu
As I had to move from Melolo, preparation to separate from my beloved family was so sad. I was 6 years old that my father, my elder brother, Kolo and I had to go on foot since there’s no vehicle, spending 5 hours for 28 kilometres to reach Prai Puluhamu, went along with  some delegations that were going to follow the celebration of the Synod made me so tired though took a moment for the rest at least every 5 or 10 kilometres. Before leaving,  my mom’s provided some stocks such as ‘Ketupat’ (rice cake boiled in a rhombus-shaped packed of plaited young coconut leaves), roasted chicken, boiled water that there’s no spring along the way to PPh. Along the way, my father frequently told  stories most from the story of the Old Testament.

Prai Puluhamu ......
We stayed in the dorm into a foster child and was very happy. Everything was going very regularly. Read the Bible every night or listen to the story being read by the teacher and pray before sleeping , Got up early in the morning and prayed in our own  bed each morning. Unfortunately, the building has fallen down as flat in this picture. This building was early  used by Ds. P. P. Goossens’ family when they just moved from Maumaru last 1972.






Alternately bathe in a public bathroomGambar sisip 2 gathered with more friends before the bell rang at 06.00 to get ready for breakfast. When the bell rang for the third time we've been at the table and in turn a person to lead a prayer before breakfast that have been prepared for each. As desserts prepared bananas, papaya, pineapple and other fruits  depending on the type of plants that bear fruit in season. Closing the morning breakfast activity continued to read the Bible and sang together from Psalm consecutive 3-4 song verses of the psalm. At 06:45 all had finished breakfast  prepared to work in addition to students   already had to go to school at 07.00. Grateful because the school  was  near  so we walked not far from the hostel foster child.








This picture below tookplace as my first place for learning and was still the same shape since 1978 until now for 37 years.
Gambar sisip 3

At the beginning of school, there ‘s only one teacher that was Djara Ane who taught at grade 1, but started the next year already 2 classes, still only be taught by one teacher up to  the 3rd grade, and became difficult when there were  already someother classes eventually,  then Mr. goossens asked  another person to assist  as the teacher, Mara Willem Hebi who taught in other classes then we moved to another new building. This picture below was the new school one.
Gambar sisip 4









 

Before starting, every morning  we were required to memorize either Katekhesmus Khaiidelberg, book believing acknowledgment Free Churches of East Sumba, taught Teaching Believe besides general subjects as in other general schools. We felt  very equipped spiritual way that had an impact until the present-day life.
A sense of brotherly love was very strong because we built the feeling of camaraderie. Came from distant churches and collected to be taught the word of God at the center of our churches. And incredible!
At 12.00, the bell already rang recognized the exit sign and the time was over for school then will have lunch together. So, the school children had to rush back to get rations for lunch because if delayed will not receive rations .... and it was happened. Once, because we were slow coming to be fed we got no rations,  and because of feel hungry my  brother, Kolo and I secretly took  bananas that were strictly forbidden to steal but if asked would probably is given, only must be requested at Mr. Termaat who was  in charge of agriculture field at the time, but we did not ask for it. So we summoned to account for our actions. When we were asked by Mr. Termaat that why we steal and we replied because of hunger unles at the end we had to receive 13 strokes on our bottoms while face down  on his thigh. We're not feeling it as a reward for our usual heavy hit very hard even with a large timber by our uncle, Ane Djara, so we felt as usual.




Playmates
Ds. PP Goossens’ family  live also in Prai Puluhamu; Antoinette was the youngest child of their family that sometimes gathered  with us, playing together when finished her  school, sometimes  in the river, forest fringes, like horse riding, swinging in trees, and sometimes the  toys possessed of her parents gift was also brought to play with us. There was  no distance between us, but her other brother such Keys, Paul and Reney  due to their age were quite older than us then just Antoinette often gathered  with. Unfortunately, in 1978 she also had to return to Holland with her family to a better school. We felt  so sad of lost playmate. That’s a pity.
To be continued......

By Wila Bunga.....the son of Rev. B. A. Lado

Minggu, 02 November 2014


Waingapu, Sejak Beberapa  minggu terakhir sedang digelar pacuan kuda. Mengambil tempat di lapangan Rihi Eti – PraiLiu Sumba, tepat berada di jantung kota, memungkinkan penonton berjubel datang menikmati hiburan. Terdapat lebih dari 700 ekor kuda diikutsertakan pada lomba kali ini, ada yang datang tidak hanya dari daerah sedaratan Sumba- 3 kabupaten lainnya, namun dari pulau seberang semisal dari Daratan Timor, Flores dan Sabu turut meramaikan perhelatan kali ini. Direncanakan  penyelenggaraan lomba berlangsung lebih dari 3 minggu, memberi efek keberuntungan bagi pedagang minuman, nasi bungkus,  bakso dan tidak luput taruhan bagi yang memiliki hobby.
Lebih jauh........
Ketika  5 ekor kuda berlari dengan kencangnya, terdapat seorang mahasiswi, biasa di panggil Rambu,  berada  di balkon stadion. Segera bangkit dari tempatnya duduk, Rambu berdiri agar dapat menyaksikan dengan sedikit  lebih nyaman, melayangkan pandangan sambil berteriak, ‘ayo, ayoo, aaayoooo..... Ringgoooo,” karena memang kuda kesukaannya sedang memimpim di depan kuda lainnya. Semua mata tertuju pada ‘Ringgo’ berlari ditunggangi seorang bocah berumur tidak lebih dari 8 tahun.
Riuh redam suara penonton  mengemuruh, berteriak sambil  bertepuk tangan, berlari mendekati kuda yang sedang melejit, di saat yang sama kelesuan terbersit dari beberapa penonton lain yang kuda jagoannya tertinggal  menjelang garis finis.
Berlangkah tanpa sadar,  Rambu  sudah berada di posisi paling depan di antara para penonton yang berada di bawah balkon stadion.
Tiba – tiba ....”plaaak”.... seekor cicak jatuh tergeletak tepat di depan Rambu.
Rasa ingin tahu sebagai seorang mahasiswi memicunya melakukan  penelitian. Dicarikan dokter hewan untuk menemukan jawaban atas jatuhnya seekor cicak ketika kuda sedang berlari namun begitu sulit untuk segera menemukan kesimpulan dari sejumlah hipotesa yang ada.
Sebab Rambu memiliki relasi antar peneliti, dan untuk melakukan kajian mendalam didatangkan pula para ahli dari sejumlah perguruan tinggi lainnya, banyak spekulasi bermunculan tidak atas analisis fakta lapangan kecuali teori baru yang dimunculkan....dan jawaban yang diharapkan semakin kabur.
Beberapa saat sebelum bubar seorang wartawan menghampiri Rambu dengan membawa hasil rekaman cctv yang sempat di pasang sebelum perlombaan dimulai dan secara perlahan memutar rekaman tersebut dan jawabannya di peroleh.....sederhana....dalam tayangan replay ternyata seekor cicak jatuh dari balkon tepat di depan Rambu adalah karena cicak tersebut larut dalam bertepuk tangan..... di putarnya berulang-ulang rekaman tersebut seakan tidak percaya namun benar cicak itu bertepuk tangan dan itu fakta......

REFLEKSI : TERKADANG KITA SUKA MENGELU BANGGA PADA  SESEORANG YANG TERUS MAJU MELEJIT KARENA KERJA KERAS SEDANG KITA LUPA DIRI SEDANG TERKAPAR & TERTINGGAL...........https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5003101257759076758#editor/target=post;postID=5678528729445976239

Rabu, 30 Juli 2014

Hari ini benar aku bangun kepagian. Mengambil air, sejenak  membasuh muka  untuk menghilangkan rasa ngantuk sebelum duduk oleh galau yang  membuat tidur terasa kurang mengenakan. Sejak libur  beberapa hari ini terdapat sejumlah hal membebani meski tidak jelas. Sampai Gracia, anakku bertanya, ada apa dengan ayah lalu dengan enteng aku menjawab, entah.....dalam aku menarikan jari pada tuts keyboard labtob, baru secara perlahan mulai timbul, ternyata dari buku KS 01  yang dibaca sebelum  tidur kemarin sore. Buku KS 01 adalah buku bahan ajar implementasi kurikulum 2013 untuk Kepala Sekolah (KS) yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Dan Kebudayaan Dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kemdikbud memuat materi manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah.
 Termenung sejenak terlintas kata ‘transformasi’....ah transformasi apa...toh sekolahku  berada di daerah perbatasan lalu terpencil lagi. Tapi seperti disampaikan temanku, pak Meki Dju Rohi salah seorang IN ( Instruktur Nasional), katanya, “ kurikulum 2013 itu esensinya adalah perubahan”....memangnya apa yang harus berubah,,,,lalu aku mengambil buku yang kemarin ku baca  ada tertulis “change management is an approach to shifting/transitioning individuals, teams, and organizations from a current state to a desired future state”  sekalian menejemen perubahan  diterjemahkan  sebagai suatu pendekatan untuk mengubah individu, tim dan organisasi dari keadaan sekarang menuju keadaan masa depan.
Berperan sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri 2 Pahunga Lodu, di Sumba, tempat di mana tiada listrik, jalan di musim hujan lumpur, terpencil dan jauh lagi dari pemukiman penduduk, terbersit  “ah... Kurikulum berubah terus ....belum habis KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sudah diganti ”....namun katanya ini harus, karena sudah menjadi keputusan dan tentunya wajib dilaksanakan, kata pak Meki  saat sosialisasi K13 buat kami Kepala Sekolah. Iapun  baru pulang ikut Bimtek di Kupang.

Perubahan, perubahan dan perubahan yang  terus didengungkan oleh pak Kepala Dinas, Pengawas, Instruktur, teman-teman Kepala sekolah di Kota.....pada akhirnya  dengan berpikiran positif mencoba untuk merenung  sambil mematrikan lebih dalam...mencoba memacu diri untuk berpikir karena katanya pula pembaharuan mindset kita yang perlu lebih dahulu. Kalau tetap bertahan bagaimana lagi dengan guru –guru, anak-anakku, tentu akan ketinggalan. Perubaha proses pengelolaan sumber daya sekolah dari kurikulum 2006 menuju kurikulum 2013 tentu memiliki kerumitan tersendiri sebab perlu daya adaptasi yang sungguh dan kuat. Bukan hanya itu, pengalaman selama ini menunjukan fakta, belum semua syarat implementasi KTSP telah dipenuhi namun perubahan –perubahan yang tetap sebagaimana diharapkan pada implementasi kurikulum 2013 ini tentu pula dengan  sungguh patut dicermati.....walahualam

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample text

Sample Text

Social Icons

Followers

Featured Posts

Social Icons

Pages

Video

Popular Posts

Our Facebook Page